Sebagai putra asli dari desa sesait, saya merasa
perlu berbagi cerita tentang pelaksanaan maulid adat warisan para
leluhur kami yang sarat dengan nuansa budaya tersebut. Mudah-mudahan
cerita ini bisa memberi sedikit penerang karena ada anggapan dari luar,
bahwa maulid adat yang kami gelar lebih bernuansa animisme, ketimbang
syi’ar Islam.
Disebut maulid adat karena lebih menitik beratkan
pada acara adat yakni peringatan atau menapak tilas sejarah perkembangan
islam di daerah Sesait dan sekitarnya ternasuk hingga ke Kecamatan
Bayan, yang pada saat itu dan masih di jajah oleh kerajaan Hindu dari
Bali (sebagian besar wilayah Lombok Barat masih dikuasai Kerajaan
Kelungkung dan Karangasem). Kegiatan maulidan tersebut oleh para leluhur
kami memang sengaja di kemas sebagai kegiatan budaya untuk mengelabui
para penguasa (kerajaan Hindu) pada zaman itu.
Acara maulid adat biasanya di ikuti oleh seluruh
warga desa yang ada di kecamatan Kayangan dan sekitarnya dalam satu
waktu dan tempat yang sama secara bersama-sama. Proses pelaksanaannya
pun tidak terlepas dari unsur-unsur adat, melalui berbagai tahapan yang
memerlukan waktu cukup lama.
Tahap Pertama: ‘Penentuan Praja Maulid’
Melalui rapat adat yang diadakan di balai adat yang
disebut “kampu” dipilihlah 6 orang “praja maulid yang terdiri dari
praja putri yakni 2 remaja yang belum aqil balig dan 2 wanita yang sudah
menopause, serta dua praja laki-laki yang berasal dari anak remaja yang
belum aqil balig dan seorang lelaki yang sudah menopause.
Praja merupakan tokoh sentral dan memiliki tugas
khusus dalam pelaksanaan maulid adat. Praja putri bertugas mempersiapkan
“dulang aji” atau dulang khusus pada acara puncak yang semua masakan di
dalamnya harus tawar alias tidak boleh di beri garam. Karena itu sejak
mereka terpilih sebagai praja putri, mereka diharuskan tinggal di dalam
komplek rumah kampu selama persiapan hingga pelaksanaan maulid adat
berakhir yang biasanya berlangsung satu minggu.
Sementara praja putra bertugas menjaga “payung
agung” yang berada di satu-satunya pintu masuk masjid tua atau masjid
kuno, pada saat acara puncak maulidan. Payung agung yang terbuat dari
kain putih tersebut merupakan simbol kesucian yang harus di jaga oleh
setiap orang ketika hendak memasuki masjid sebagai tempat ibadah.
Tahap kedua: “pengumpulan bahan makanan dan presean”
Hampir semua warga dari berbagai desa turut
berpartisipasi dalam pelaksanaan maulid adat dengan menyumbangkan hasil
bumi dan ternak mereka untuk acara puncak, termasuk kayu bakar untuk
memasak, beras, ketan ternak dsb. Bahan-bahan tersebut di kumpulkan di
dalam rumah kampu. Biasanya acara pengumpulan bahan berlangsung selama
tiga hari hingga H-1. Batas pengumpulan bahan makanan bertepatan dengan
kedatangan kelompok kesenian tradisional “gong dua” dari arah luar desa
pada waktu matahari terbenam. Kesenian gong dua ini bertugas mengiringi
proses maulid adat hingga selesai.
Kemudian pada malam harinya selepas Isya, gamelan
gong dua mengiringi acara presean yang digelar di halaman masjid kuno.
Permainan tradisional saling pukul dengan rotan ini diawali secara
simbolis dengan pertarungan antara praja maulid putri, kemudian
diteruskan dengan presean sesungguhnya yang menampilkan para “pepadu”
dari berbagai desa. Acara presean biasanya berlangsung hingga terbit
fajar di bawah cahaya bulan purnama.
Gambar 1: Perisean maulid adat pada malam hari.
Tahap ketiga: Acara Puncak Maulid Adat
Puncak acara mauled adapt diawali dengan acara
pencucian beras untuk dimasak pada pagi hari, yang melibatkan ratusan
perempuan dari anak-anak hingga nenek-nenek berpakaian adat kebaya.
Masing-masing menjunjung beras didalam peraras (bakul kecil dari anyaman
bambu) menuju sumber mata air yang terletak sekitar 2 kilometer di luar
desa. Hal yang unik dari para pembesok beras ini adalah mereka
diharuskan memakai pakaian adapt dan tidak boleh beralas kaki. Separuh
perjalanan menunju dan kembali dari mata air, iring-iringan pencuci
beras yang di pimpin praja maulid putri ini di iringi alunan musik
tetabuhan gamelan tradisional “gong dua”. Beras yang sudah di cuci
kemudian dikumpulkan kembali di dalam rumah kampu untuk dimasak secara
bersama-sama oleh kaum perempuan.
Gambar 2: Iring-iringin besok beras yang baru keluar dari rumah Kampu
Gambar 3: Iring-iringan besok beras berangkat menuju mata air
Gambar 4: Penyambutan iring-iringan besok beras yang kembali dari mata air.
Gambar 5: Iring-iringan besok beras saat penyambutan kedatangan.
Sedangkan untuk memasak lauk ditugaskan kepada
kaum laki-laki yang biasanya dikerjakan secara beramai-ramai di halaman
masjid kuno. Jenis dan waktu penyembelihan ternak untuk lauk pun tidak
sembarangan. Setiap empat tahun sekali warga menyembelih kerbau,
sementara tiga tahun berikutnya hanya boleh menyembelih kambing, dan
tahun keempat kembali memotong kerbau. Untuk bahan campuran lauk yang
dimasak santan ini juga hanya diperbolehkan menggunakan buah pisang
saba, atau dalam bahasa sesait disebut “puntik tawak”.
Selama rangkaian proses maulid adat, kaum perempuan
menggunakan pakaian adat kebaya, sedangkan kaum laki-laki menggunakan
sabuk penjong atau kain panjang dengan ujung kain menjuntai di bagian
depan, lengkap dengan “dodot” atau sabuk selendangnya. Disamping itu
laki-laki juga menggunkan ikat kepala “saput” atau udeng. Semua pakaian
yang digunakan warga ini memang mirip bahkan sama seperti pakaian adat
Bali. Hal itu memang di sengaja dengan maksud untuk menyamarkan kegiatan
keagamaan tersebut agar tidak di larang oleh penguasa dari Bali yang
menjajah pada waktu itu. Setelah masakan siap, kemudian di sajikan dalam
wadah “dulang” yang terbuat dari kayu bersama berbagai macam jajanan
dan buah-buahan hasil bumi untuk di naikkan ke masjid kuno pada acara
puncak maulid adat yang berlangsung saat matahari tenggelam.
Acara puncak diawali dengan kedatangan rombongan tokoh adat, tokoh
agama dan tokoh pemerintahan serta warga untuk menghias masjid kuno.
Rombongan ini dipimpin praja putra anak yang membawa payung agung
, bersama praja putra dewasa yang membawa gulungan kain putih. Payung agung ditempatkan di pintu masuk masjid dan dijaga oleh praja putra anak, sedangkan kain putih akan di bentangkan dari atas pintu hingga keatas mimbar masjid. Bentangan kain putih tersebut merupakan simbol awan putih yang selalu menaungi Nabi Muhammad SAW ketika berda’wah menyebarkan islam.
, bersama praja putra dewasa yang membawa gulungan kain putih. Payung agung ditempatkan di pintu masuk masjid dan dijaga oleh praja putra anak, sedangkan kain putih akan di bentangkan dari atas pintu hingga keatas mimbar masjid. Bentangan kain putih tersebut merupakan simbol awan putih yang selalu menaungi Nabi Muhammad SAW ketika berda’wah menyebarkan islam.
Didalam masjid kuno terdapat empat tiang utama yang
disebut “soko guru” yang masing-masing di jaga dan di hias oleh empat
pemimpin, yakni Musungan atau kepala desa menghias tiang bagian tenggara
menggunakan warna merah melambangkan kekuasaan, Penghulu atau pemimpin
agama menghias tiang barat daya menggunakan kain putih sebagai lambang
kesucian, Mangku Bumi atau penguasa tanah/bumi menghias tiang bagian
timur laut menggunakan warna biru, dan Jintaka atau penguasa pertanian
menghias tiang bagian barat laut menggunkan warna kuning yang
melambangkan kemakmuran. Seluruh rangkaian kegiatan menghias masjid kuno
ini digelar bertepatan dengan waktu shalat ashar tiba dan berakhir saat
matahari terbenam atau ketika tiba waktu sahalat magrib. Hal itu
dimaksudkan untuk memudahkan para tokoh dan warga dapat mengerjakan
shalat berjama’ah tanpa diketahui oleh penguasa hindu yang pada waktu
itu melarang warga mengerjakan syari’at islam.
Usai shalat magrib berjama’ah barulah acara inti
maulid digelar bersamaan dengan penyajian berbagai hidangan yang
ditempatkan dalam dulang kayu. Sebelum acara zikir, do’a dan makan
bersama, terlebih dahulu di berikan wejangan atau ceramah oleh tokoh
agama tentang sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW dan kiprah beliau
menyebarkan ajaran Islam hingga kedatangan Islam di desa tersebut yang
konon di sebarkan oleh Sunan Kalijaga, yakni salah seorang anggota Wali
Songo dari Jawa.
Gambar 6: Pengantaran dulang dari rumah Kampu ke Masjid Kuno
Selama proses puncak maulid adat yang kadang di
barengi dengan alunan gong dan tari-tarian oleh sejumlah warga secara
bergilir. Hal itu untuk mengingatkan warga bahwa tetabuhan dan tarian
sengaja digelar untuk mengalihkan perhatian penguasa hindu pada waktu
itu, agar tidak curiga dengan kegiatan keagamaan di dalam masjid.
Setelah acara maulid selesai di dalam masjid,
barulah dilanjutkan dengan “begibung” yakni acara makan bersama seluruh
warga di luar masjid, biasanya disekitar rumah kampu dan masjid kuno.
Dulang-dulang dibuatkan berjejer rapid an kemudian warga
berhadap-hadapan makan bersama. Karena banyaknya warga, acara makan
bersama biasanya baru bisa terlayani semua dan selesai hingga tengah
malam. Sebagai penutup rangkaian maulid adat, keesokan harinya di gelar
acara syukuran sekaligus pencabutan status praja maulid yang berlangsung
di dalam rumah kampu.
Demikian cerita singkat tentang maulid adat di desa
Sesait, Lombok Utara, selanjutnya pelungguh senamian bisa menilai
sendiri, apakah maulid adat yang di gelar masyarakat Lombok Utara
termasuk kegiatan syi’ar Islam atau hanya tradisi adat belaka.
Setidaknya tulisan ini dapat menambah wawasan kita semua tentang
keragaman budaya bangse sasak. Tabek!.